Jalan Baru Memecah Kebekuan, Front Mahasiswa Nasional Surabaya

JALAN BARU MEMECAH KEBEKUAN,
Front Mahasiswa Nasional Surabaya
Imam Muhlas

ISBN: 978-602-18753-2-2
Cetakan I-Bandung: DIAN CIPTA
145 X 210 mm
xviii + 125

Rp 40.000

Pemesanan: HANYA MELALUI ONLINE
__________________________________

FMN: Kisah yang Terserak
Oleh Arfi Bambani Amri
Kepala Divisi Agitasi dan Propaganda Front Mahasiswa Nasional yang pertama (2003-2004)

Kisah dimulai dari sebuah rumah di Gang Tahu, Utan Kayu, Jakarta Timur. Di rumah kontrakan kecil dengan dua kamar; saya, Willy Aditya, Nazaruddin Latief, Oki Hajiansyah, M Taufiq, Dana Bhakti, dan beberapa kawan lainnya berbagi ruangan. Kami semua dari luar Jakarta, ibarat anak kampung masuk kota. Saya dan Willy masih kuliah di Universitas Gadjah Mada. Oki masih studi S1 di Universitas Lampung, M Taufiq atau biasa dipanggil Opik tercatat mahasiswa di Universitas Padjajaran, Latief kuliah di Universitas Jenderal Soedirman dan Dana Bhakti di Universitas Islam Indonesia.

Di rumah ini, kami menyiapkan agenda besar Kongres Pendirian  atau Founding Congress Front Mahasiswa Nasional.3 Kami –yang belakangan menjadi Komite Pusat FMN– tidur dan diskusi di mana saja, selain di dapur dan kamar mandi tentunya. Salah satu kamar yang terbesar, dijadikan perpustakaan sekaligus ruang rapat. Di sini, beberapa bulan di antara 2002 sampai 2003, diskusi intens terjadi di antara kami.

Soal diskusi, segala macam kami bahas. Kami berdebat mulai dari soal ideologi, strategi-taktik, program FMN, sistem
pengkaderan, slogan, sampai teknis persiapan kongres. Soal ideologi, kami sepakati tak perlu dituliskan dalam anggaran dasar. Politik mahasiswa tidak bicara ideologi, “itu partai,” kata Willy. Kami pun lalu mengesampingkan pembicaraan mengenai ideologi. Diskusi dan rapat kemudian lebih banyak membahas program dan slogan. Dan slogan “Belajar, Berorganisasi dan Berjuang” lahir di masa itu.

Selain diskusi, saya dan Latief kerap duet memasak sebagai cara kami mengirit pengeluaran karena jajan hanya sesuai standar Yogya dan Purwokerto. Saya yang orang Minang pun jadi bisa membuat tempe mendoan, sementara Latief yang dari Banyumas jadi paham memasak teri kacang balado yang maknyus. Kerap kami hanya makan nasi dengan tahu atau tempe balado yang murah karena bertetangga dengan pabrik tahu.

Mengumpulkan yang Terserak

Saya dan Willy adalah sisa-sisa agitasi Reformasi 1998. Willy yang dibesarkan oleh sajak-sajak WS Rendra dan roman kemanusiaan Romo Mangun ikut berdemonstrasi membakar foto Soeharto di Gedung Pusat UGM di awal 1998. Sementara saya adalah mahasiswa baru angkatan 98 yang terpesona dengan gerakan mahasiswa 98 dan terkesima saat membaca buku-buku Tan Malaka, Antonio Gramsci, Karl Marx atau pun VI Lenin.

Kami beraktivitas di Dewan Mahasiswa UGM, sebuah nama yang membuat orang terpikir mengenai Dewan Mahasiswa yang dibubarkan melalui Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) di kurun 1980-an. Namun Dewan Mahasiswa yang ini lebih tepatnya sebuah klub mahasiswa, jika tak bisa disebut serikat mahasiswa. Kami berdiskusi, berdebat, bernyanyi, baca puisi, dan berdemonstrasi.

Dunia nyaris seperti hitam dan putih bagi kami saat itu, tanpa abu-abu atau warna-warni pelangi. Saat itu, bagi saya, pemerintah, kekuasaan, aparat, pemilik modal, adalah hitam. Kami, para demonstran, adalah putih.

Dalam berdemonstrasi, aliansi atau koalisi kerap kami jalin. Ada banyak organisasi mahasiswa yang kerap berdemonstrasi di Yogyakarta. Ada Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam yang ada dua macam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Liga Mahasiswa Nasional Demokratik, dan sejumlah organisasi lokal seperti Serikat Mahasiswa untuk Kedaulatan Rakyat (SMKR). Dengan organisasi terakhir ini, kami paling intens berdemonstrasi dan berdiskusi bersama. Selain platform yang hampir sama, sejumlah senior kedua organisasi juga banyak beraktivitas bersama melakukan advokasi publik.

Interaksi dengan SMKR ini akhirnya berbuah upaya penyatuan organisasi. Belakangan upaya penggabungan terjadi, namun bukan SMKR secara organisasi, tapi sejumlah individu dari SMKR menyempal dan lalu bersekutu dengan kami, para aktivis mahasiswa dari UGM. Perorangan yang menyempal dari SMKR saat itu antara lain Dana Bhakti, Hersa Krisna, dan Ridwan (Wawan), dua nama yang belakangan menjadi pemimpin FMN setelah Willy Aditya mundur.

Ternyata penyatuan itu tak sesederhana yang kami bayangkan. Ada gerbong panjang jaringan gerakan mahasiswa di berbagai daerah yang berjejaring dengan SMKR: Forum Mahasiswa Nasional. Di Bandung, terdapat Forum Indonesia Muda Bandung (FIM-B). Di Surabaya, terdapat Solidaritas Mahasiswa Untuk Pembebasan Rakyat (SMPR) yang berbasis di IAIN Sunan Ampel. Ada belasan kota yang tergabung dalam jaringan ini. Latar belakangnya macam-macam. Ada yang sisa-sisa kelompok yang menyempal saat Partai Rakyat Demokratik terbentuk dan lalu ikut Pemilu. Ada yang sudah berurat berakar menjadi gerakan mahasiswa lokal, belum memikirkan ikut konsolidasi organisasi secara nasional.

Dari UGM, Willy dipercaya untuk memimpin proses konsolidasi. Willy membentuk kolektif kecil yang di dalamnya terdapat saya, dan beberapa teman lainnya. Kolektif ini menyiapkan kerangka penyatuan organisasi secara nasional. Kami membaca beragam literatur, mempelajari struktur organisasi-organisasi mahasiswa lainnya, dan tentu saja, berhubungan dengan anggota Forum Mahasiswa Nasional itu sendiri. Beberapa kali kami menggelar pertemuan nasional, berkumpul dengan organisasi-organisasi mahasiswa lokal itu. Saya bahkan memanfaatkan libur Lebaran mendatangi satu demi satu markas organisasi mahasiswa lokal di pulau Sumatera. Di Palembang pula saya mendapatkan penyakit kelebihan asam lambung karena setiap hari memakan empek-empek bercuka.

Dari Bidang ke Titik

Kami mencoba menghimpun begitu banyak organisasi untuk kemudian dileburkan menjadi satu organisasi, yang memiliki satu sistem nilai, program, sistem pengkaderan, slogan dan ciri khas. Dan kesepakatan pertama adalah memunculkan ciri khas itu: nama dan logo Forum Mahasiswa Nasional. Meski belum resmi, seluruh jaringan diminta mengenalkan lambang bintang besar yang dikelilingi lima bintang kecil setiap kali berdemonstrasi.

Di tahun 2002, setelah bertahun-tahun Forum Mahasiswa Nasional hanyalah sekadar forum, terbentuk komite persiapan untuk Kongres Pendirian Front Mahasiswa Nasional. Perubahan nama menjadi Front ini adalah bentuk keseriusan untuk menjadi satu organisasi. Kami kemudian membawa Komite persiapan ini bekerja di Jakarta, sekaligus sebagai upaya membangun organisasi mahasiswa embrio FMN di Ibu Kota.

Front Mahasiswa Nasional awalnya dirancang sebagai sebuah organisasi massa, tanpa mensyaratkan ideologi atau latar belakang mahasiswa untuk anggota. Kami sepakat, FMN harus menjadi bidang yang luas, menjangkau semua lapis dan latar belakang mahasiswa, tanpa pandang agama, asal-usul atau kelas sosial. FMN sejak awal kami bayangkan sebagai sebuah organisasi mahasiswa gaul yang bisa memfasilitasi berbagai macam kebutuhan mahasiswa. Di saat mahasiswa baru datang, FMN menyelenggarakan pesta penyambutan. Di saat menjelang ujian, FMN bisa menggelar latihan atau belajar bersama. Demonstrasi adalah bagian kecil dari kegiatan FMN, bagian terbesar adalah melayani mahasiswa.

Lalu bagaimana dengan proses menuju ke titik? Proses menuju ke titik ini salah satunya dilakukan dengan pendidikan. Rancangan awal sistem pendidikan adalah tiga tahap yang disusun bertingkat dari tahap terendah di perguruan tinggi. Tidak harus semua anggota FMN sampai ke tahap tertinggi yang merupakan syarat untuk menjadi pimpinan organisasi di tingkat nasional.

Namun sayang, saya tak mengikuti lagi apa yang terjadi di FMN setelah tahun 2004. Saya tak tahu, apakah konsep organisasi yang bekerja dari bidang ke titik itu masih menjadi acuan.

“Gaul”

Kini di usia yang ke-10 tahun, ternyata FMN masih berdiri. Gokong, bekas aktivis FMN dari Surabaya, meminta saya menulis sebuah pengantar untuk buku mengenai FMN. Saya tak tahu persis bagaimana angle dari buku yang nanti diterbitkan, sehingga saya memutuskan untuk bercerita saja mengenai FMN sepanjang pengetahuan saya. Keyakinan saya, FMN bisa besar jika “gaul”.

Hugo Chavez, mendiang Presiden Venezuela, menyatakan, “Try and make your revolution, go into combat, advance a little, even if it’s only a millimeter, in the right direction, instead of dreaming about utopias.”4 FMN jika masih ingin tumbuh besar dan kuat, harus turun “bertempur” bukan sibuk berdebat atau berdiskusi di dalam organisasi. Dan medan tempur itu adalah di kampus, di perguruan tinggi.

Organisasi tidak akan besar oleh mimpi dan utopia. Organisasi menjadi besar oleh orang-orang yang mau menghidupi organisasi secara sukarela. Dan orang kebanyakan, seperti juga mahasiswa kebanyakan, ingin mencari kebahagiaan dan mendapatkan optimisme, bukan pesimisme. Jadilah organisasi yang optimistis dengan masa depan, memberikan harapan yang konkret, bukan ditakut-takuti dengan pesimisme. Jika orang-orang ini bergabung dengan FMN, maka FMN telah melangkah satu millimeter ke depan.

FMN bisa melangkah beberapa millimeter lagi jika mampu beraksi secara konkret. FMN harus kembali ke kerja-kerja di bidang yang luas, bukan sibuk di titik-titik. FMN harus merebut public sphere, mewarnai kampus dengan kegiatan. Bikinlah FMN menjadi organisasi yang disenangi laki-laki dan perempuan, menjadi tempat berkumpul si gaul dan si kutu buku. Jadilah organisasi yang gaul.

FMN juga harus bisa merangkul organisasi-organisasi mahasiswa yang lain untuk bergabung bersama. Sungguh aneh jika ada dua organisasi mahasiswa yang platformnya hampir sama, namun tak bisa bersatu, malah berkelahi. Kerja dari bidang ke titik bukan hanya atas individu, tapi juga organisasi mana pun. []

Jakarta, 29 April 2013

Posting Komentar

1 Komentar

  1. CASINO DUNCAN'T - Casino - Mapyro
    CASINO DUNCAN'T. 2021-11-13 화성 출장샵 14:51:15 AM. The slot 김제 출장샵 is a 5 reel, 4 row, 의왕 출장안마 25 fixed payline slot. The jackpot amount is 대구광역 출장마사지 set at 20,000 평택 출장마사지 times the previous

    BalasHapus